Ticker

6/recent/ticker-posts

Celoteh Do’a Tebu Berkarat

 

Celoteh Do’a Tebu Berkarat

 


Karya : Zulletri Susanto
Guru SMP N 3 Purworejo

 

Aku diam tapi tumbuh

Mampu mendengar tak mampu berkata

Tak pernah meraba namun mampu merasa

Tubuhnya, tuan alarm di tepi ladang

 

Senyumku menyaksikan hangat mentari

Untuk menyingkap selimut embun pagi

Terbangun untuk merasakan

Indah aura penuh semangat

Sosok kecil kulit keriput

 

Si kecil kulit keriput

Dadanya kokoh, punggungnya rapuh

Pantat berkibar bendera putih

Tapi perut tetap merdeka, mengingat nafas-nafas di balik pintu

Dan sesekali ia mengusap peluh pelupuk mata

 

Pedihmu berat kurasa

Saat pembual harap mulai mencuap

Nyinyir getir sengir laksa rentenir

Pagiku tak lagi sejuk, melihat matamu yang mulai sayu dalam riang tawa paras lugumu

Aku mampu merasa, aura pelik jernih kalbumu

Bersembunyi dalam bayang, lidah pahit berkata manis, itulah engkau sosok kecil kulit keriput

 

Tuhan,

Aku malu, tubuhku tak mau tumbuh

Tak sudi aku melacurkan diri, pada hama satir melata

Namun mengapa, semangatnya semakin hebat,

Ya Rabb

Apa daya tubuh ini,

Dunia mulai timpang, gulaku telah berkarat

Bagaimana tubuh akan lebat, jika pabriknya tak bertanggung jawab

Bagaimana aku kan sehat, jika limbahnya tak pernah tersumbat

Daurnya hanya wacana, dan pupuk mulai garib

Apa daya si kecil keriput

Penuh harap dengan caci pembual buncit?

 

Ya Allah

Apalagi yang engkau tunjukan

Ikhlas baktinya kacungkan diri

Kasihnya tulus dalam relung gumamnya lugu

Aku kuat karena hati dan auranya

Bukan karena pupuk garibnya

Tapi mengapa, manis gulaku hanya untuk mereka yang tak mengerti terik mentari dan dingin embun pagi

Dan ia si keriput alarm pagiku

Hanya merasa manis jelaga

Getir gula, manisnya garam

Dalam senja, punggungnya kian membungkuk

Nafasnya hanya pada asa, bualan lembar atau getirnya alam

Tak lagi ku melihat parasnya, karena lukanya terkubur tanah

Terka ku tak lagi hebat, senyumnya telah berbeda

 

Dan disini aku tetap diam

Terpaku dan tak mampu

Menyaksikan keadilan yang membingungkan

Mungkin hanya do’a, bila Beliau Maha Mendengar

Relung hati tak lagi berdiri

Inikah pejuang kehidupan, penyaji tawa reka untuk pembual asa

Apalah arti melihat tawanya, jika ia tetap berdiri membisu di tempat kami bersujud

 

 

 

Posting Komentar

1 Komentar