Celoteh
Do’a Tebu Berkarat
Aku
diam tapi tumbuh
Mampu
mendengar tak mampu berkata
Tak
pernah meraba namun mampu merasa
Tubuhnya,
tuan alarm di tepi ladang
Senyumku
menyaksikan hangat mentari
Untuk
menyingkap selimut embun pagi
Terbangun
untuk merasakan
Indah
aura penuh semangat
Sosok
kecil kulit keriput
Si
kecil kulit keriput
Dadanya
kokoh, punggungnya rapuh
Pantat
berkibar bendera putih
Tapi
perut tetap merdeka, mengingat nafas-nafas di balik pintu
Dan
sesekali ia mengusap peluh pelupuk mata
Pedihmu
berat kurasa
Saat
pembual harap mulai mencuap
Nyinyir
getir sengir laksa rentenir
Pagiku
tak lagi sejuk, melihat matamu yang mulai sayu dalam riang tawa paras lugumu
Aku
mampu merasa, aura pelik jernih kalbumu
Bersembunyi
dalam bayang, lidah pahit berkata manis, itulah engkau sosok kecil kulit
keriput
Tuhan,
Aku
malu, tubuhku tak mau tumbuh
Tak
sudi aku melacurkan diri, pada hama satir melata
Namun
mengapa, semangatnya semakin hebat,
Ya
Rabb
Apa
daya tubuh ini,
Dunia
mulai timpang, gulaku telah berkarat
Bagaimana
tubuh akan lebat, jika pabriknya tak bertanggung jawab
Bagaimana
aku kan sehat, jika limbahnya tak pernah tersumbat
Daurnya
hanya wacana, dan pupuk mulai garib
Apa
daya si kecil keriput
Penuh
harap dengan caci pembual buncit?
Ya
Allah
Apalagi
yang engkau tunjukan
Ikhlas
baktinya kacungkan diri
Kasihnya
tulus dalam relung gumamnya lugu
Aku
kuat karena hati dan auranya
Bukan
karena pupuk garibnya
Tapi
mengapa, manis gulaku hanya untuk mereka yang tak mengerti terik mentari dan
dingin embun pagi
Dan
ia si keriput alarm pagiku
Hanya
merasa manis jelaga
Getir
gula, manisnya garam
Dalam
senja, punggungnya kian membungkuk
Nafasnya
hanya pada asa, bualan lembar atau getirnya alam
Tak
lagi ku melihat parasnya, karena lukanya terkubur tanah
Terka
ku tak lagi hebat, senyumnya telah berbeda
Dan
disini aku tetap diam
Terpaku
dan tak mampu
Menyaksikan
keadilan yang membingungkan
Mungkin
hanya do’a, bila Beliau Maha Mendengar
Relung
hati tak lagi berdiri
Inikah
pejuang kehidupan, penyaji tawa reka untuk pembual asa
Apalah
arti melihat tawanya, jika ia tetap berdiri membisu di tempat kami bersujud
1 Komentar
Puisi Rasa membakar nalar
BalasHapusIkut website Dedi Ir untuk mengetahui postingan terbaru kami